Tujuan Diciptakannya Lisan
اَلْحَمْدُ للهِ
الَّذِيْ اَنْعَمَنَا بِنِعْمَة الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ وَ أَعْطَانَا
اللِّسَانَ بِاَفْصَحِ الْكَلَامِ. أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ
الرَّحْمٰنُ وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الْكِرَامُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى
اٰلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ
وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi
menyampaikan dalam Bidayatul Hidayah, bahwa ada empat hal tujuan diciptakannya
lisan oleh Allah ﷻ .
Pertama,
memperbanyak dzikir, ingat kepada Allah ﷻ
. Hal ini sebagai bentuk kita bersyukur kepada-Nya yang telah memberikan begitu
banyak nikmat. Banyaknya menyebut asma-Nya dan mengingat-Nya dengan berdzikir,
juga merupakan wujud cinta kita kepada-Nya. Sebab, pepatah mengatakan bahwa
semakin kita cinta, semakin kita akan sering menyebut-nyebut namanya. Bahkan
dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. mengingatkan bahwa hamba yang paling utama
derajatnya di sisi Allah ﷻ pada hari kiamat
nanti adalah mereka yang banyak berdzikir kepada Allah ﷻ . Imam Abul Hasan al-Wahidi mengutip pernyataan Ibnu Abbas,
mengatakan bahwa maksud dari hadits tersebut adalah berdzikir kepada Allah di
berbagai kesempatan seperti usai shalat, tidur, bangun dari tidur, setiap makan
dan juga saat istirahat.
Kedua,
membaca Al-Qur’an. Hal ini penting untuk dapat menuntun kita ke jalan agama
Allah ﷻ yakni agama Islam. Membaca Al-Qur’an juga
memberikan kita begitu banyak pahala, meskipun kita tidak memahami kandungan
dari ayat-ayat yang kita baca. Memperbanyak membaca Al-Qur’an juga akan
memberikan kita syafaat kelak di hari kiamat. Bahkan dalam sebuah hadits,
Rasulullah Saw bersabda:
خَيْرُكُمْ
مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
"Sebaik-baiknya
orang di antara kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan
mengajarkannya".
Ketiga,
memberikan petunjuk bagi makhluk Allah ﷻ
mengenai agamanya yang benar, yang dijalankan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya, yakni agama Islam.
Keempat,
menyampaikan kebutuhan agama dan dunia kita. Dalam arti belajar dan melakukan
sesuatu keduniaan untuk memenuhi persyaratan peribadatan kita kepada-Nya.
Termasuk soal keduniaan, kita bekerja untuk memperoleh bekal makan sebagai
sarana agar kuat dalam beribadah. Jika lisan tidak digunakan untuk selain empat
hal tersebut, maka tidak ada pilihan lain kecuali diam. Sebab, jika lisan tidak
digunakan sesuai dengan tujuan penciptaannya, maka hal tersebut merupakan
bentuk kufur nikmat. Oleh karena itu, marilah kita gunakan lisan sesuai dengan
tujuannya atau lebih baik diam saja. Allah ﷻ
pun berfirman dalam QS Al-Ahzab: 70:
يااَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا
اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ
"Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian dan berkatalah (dengan) hal-hal
baik." Dalam ayat lain, Allah ﷻ berfirman:
مَا
يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
"Tidak
sekali-kali seorang manusia berbicara sepatah kata pun kecuali di sampingnya
terdapat Raqib dan Atid" (QS Qaf: 18). Artinya, jika bukan hal baik yang
disampaikan, lebih baik diam, tidak malah mengatakan hal-hal yang buruk. Sebab,
ada dua malaikat yang selalu siap sedia mencatat segala perkataan kita.
Rasulullah Saw bersabda sebagaimana dikutip al-Imam
al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi dalam Lubabul Hadits:
مَنْ
صَمَتَ نَجَا
“Siapa
yang diam, maka dia selamat.” Syekh al-Alim al-Allamah Muhammad Nawawi bin Umar
al-Bantani menjelaskan hadis tersebut dalam kitab Tanqihul Qaulil Hatsits fi
Syarhi Lubabil Hadits bahwa diam dari bicara, tidak ngomong memang tidak
memberikan pahala terhadap orang tersebut. Akan tetapi, dia dapat selamat dari
siksa Allah ﷻ. Sebab, dalam hadits
lain yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Ibn Umar radliyallahu ‘anhuma,
disabdakan: “Siapa yang banyak bicara, dia banyak salah. Siapa banyak salah,
maka banyak dosanya. Siapa banyak dosanya, tentu neraka lebih utama baginya.”
Oleh karena itu, hadirin jamaah Jumat yang dimuliakan Allah ﷻ, Mari kita upayakan untuk tidak perlu
banyak bicara. dalam konteks kekinian, kita tidak perlu banyak mengunggah
status di media sosial. Sebab, Luqman pernah berkata kepada anaknya, bahwa jika
bicara merupakan bagian dari perak, maka diam adalah emas. Artinya, sebagaimana
disebutkan Ibnul Mubarak, jika berbicara dalam ketaatan kepada Allah adalah
perak, maka diam dari maksiat kepada Allah adalah bagian dari emas.
اِذَا
مَا اضْطُرِرْتَ اِلَى كَلِمَةٍ * فَدَعْهَا وَبَابَ السُّكُوْتِ اقْصِدِ فَلَوْ
كَانَ نُطْقُكَ مِنْ فَضَّةٍ * لَكَانَ سُكُوْتُكَ مِنْ عَسْجَدٍ
Artinya:
"Jika tidak terpaksa untuk bicara sepatah kata, maka tinggalkanlah dan
diamlah!. Jika pun pembicaraanmu merupakan bagian dari perak, maka sungguh
diammu itu bagian dari emas"
Jamaah Jumat sekalian, Dalam kitab lain, Syarh Muraqil
Ubudiyah ala Matni Bidayatil Hidayah, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa diam
mengandung 7.000 kebaikan yang terangkum dalam tujuh kalimat berikut. 1. Diam
adalah ibadah tanpa usaha 2. Perhiasan tanpa permata 3. Kemuliaan tanpa raja 4.
Benteng tanpa penjaga 5. Tidak butuh alasan manusia 6. Memperoleh kemuliaan
malaikat Katibin 7. Tirai aib-aibnya
Oleh karena itu, mari kita jaga lisan kita, jaga jari-jemari
dan lisan kita untuk menjalankan empat hal yang tadi telah dijabarkan. Jika
tidak, maka tahan lisan kita untuk berbicara dan jemari kita dari mengunggah
hal-hal buruk di media sosial dengan diam. Demikian khutbah yang saya
sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ
تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ
الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَيَا
فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ